Agar Amalan Kita Diterima Allah

Siapapun pasti ingin jika semua amalnya diterima oleh Allah ta’ala. Lalu Allah memberikan pahala yang besar karena amalannya tersebut. Tetapi tidak semua keinginan dapat terwujud. Karena kenyataannya, banyak orang yang asal-asalan dalam beramal dan dalam menunaikan kewajibannya. Mereka hanya mendapatkan lelah dari ibadahnya.

Tidak semua amalan diterima Allah

Saudaraku yang dirahmati Allah, renungkanlah firman Allah ta’ala berikut, “Dan Kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu bagaikan debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23).

Ibnu Katsir menjelaskan, ini merupakan kejadian pada hari kiamat. Yaitu pada saat amal-amal dihisab oleh Allah ta’ala. Lihatlah orang tersebut. Mereka mengira akan mendapatkan pahala yang besar dari amalan atau ibadah yang pernah dilakukan ketika di dunia. Tetapi Allah tidak menerima amalannya. Merugilah orang yang merugi, yaitu orang yang lelah beramal akan tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari amalnya.

Demikian pula Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak menerima amalan kecuali yang baik-baik saja..”(HR. Muslim). Hadist ini menunjukkan amalan seorang hamba tidak akan diterima dan diberikan pahala oleh Allah, kecuali jika amalan tersebut baik kualitasnya.

Selain itu ada kisah menarik, Dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu beliau mengatakan, ”Sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam masuk masjid kemudian masuklah seorang laki-laki kemudian shalat dengan tergesa-gesa (tidak tuma’ninah). Kemudian dia datang dan mengucapkan salam pada Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam. Maka Nabi menjawab salamnya dan bersabda:“Kembalilah, dan sholatlah, karena sesungguhnya engkau belum sholat.” Kejadian ini berlangsung tiga kali. Maka laki-laki tersebut mengatakan: ” Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak bisa shalat lebih baik dari shalatku ini. Maka ajarilah aku.” Nabi bersabda: “Jika engkau hendak shalat, sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke arah kiblat, kemudian bertakbirlah. Lalu bacalah ayat Al Qur’an yang mudah bagimu. Kemudian ruku’lah sampai engkau tuma’ninah dalam ruku’mu. Kemudian bangkitlah sampai engkau i’tidal dalam keadaan berdiri. Kemudian sujudlah sampai engkau tuma’ninah dalam sujudmu, kemudian bangkitlah sampai engkau tuma’ninah dalam dudukmu. Kemudian sujudlah sampai engkau tuma’ninah dalam sujudmu. Kemudian lakukanlah hal tadi dalam seluruh shalatmu.” (HR. Bukhari).

Saudaraku yang berbahagia, tidakkah kita ingin agar amal kebaikan dan ibadah kita diterima oleh Allah? Bukankah dengan sebab amal yang diterima tersebut, kita dapat masuk surga? Hendaknya kita selalu berusaha memperbaiki kualitas amal ibadah kita. Dan selayaknya kita memahami syarat diterimanya suatu ibadah seperti yang telah dijelaskan didalam AlQur’an dan hadist nabi. Berikut penjelasannya…

Kemusyrikan menghapuskan amalan kebaikan

Syarat pertama agar amalan diterima adalah tidak berbuat kesyirikan kepada Allah. Sebagaimana firmanNya, “Seandainya mereka (para Nabi) mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”.(QS.Al-An’am : 88).

Jika para nabi yang melakukan kesyirikan, semua amal kebaikannya menjadi sia-sia..bagaimana dengan kita yang kedudukannya jauh dibawah para nabi.

Ayat ini juga menunjukkan bahwa orang kafir, sebaik apapun perilakunya dan sebanyak apapun amal sosialnya, tidaklah bermanfaat sama sekali disisi Allah. Karena mereka telah melakukan kejahatan yang sangat besar terhadap Allah. Sebagaimana firmanNya, “..Janganlah berbuat syirik kepada Allah. Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kedzaliman dan kejahatan yang sangat besar terhadap Allah”(QS. Luqman : 13).

Ikhlas mengharap ridho Allah

Syarat kedua adalah ikhlas dalam beramal. Maksudnya adalah seseorang hanya mengharapkan ridho Allah dari setiap amalannya, bersih dari riya’ (ingin dilihat orang lain) dan sum’ah (ingin didengar orang lain). Amalannya bukan karena mengharapkan pujian orang lain dan bukan karena menghindari celaan orang lain. Pujian dan celaan orang sama saja baginya serta tidak mempengaruhinya untuk terus beramal. Yang diharapkannya adalah mendapatkan pujian dari Allah dan terbebas dari celaan dan murkaNya. Allah ta’ala berfirman, “Dan tidaklah mereka diperintahkan, kecuali beribadah dengan mengikhlaskan agama kepadaNya..”(QS. Albayyinah : 5).

Demikian pula, Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amalan disertai niat. Dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya”.(HR. Bukhari dan Muslim).

Hadist yang mulia ini menunjukkan bahwa niat merupakan penentu keshahihan amal. Apabila niatnya baik, maka amal menjadi baik. Apabila niatnya jelek, amalnya menjadi jelek. (Syarh Arba’in li an-Nawawi).

Maka semua amal yang tidak diniatkan karena Allah akan menjadi amal yang jelek, yang sia-sia dan tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat.

Ittiba’ kepada Rasulullah

Syarat yang ketiga adalah ittiba’, yaitu amalan ibadah yang dilakukan harus mengikuti petunjuk Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam. Allah ta’ala berfirman, “Pada hari ini telah telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian.” (QS. Al Maaidah: 3).

Ayat yang mulia ini menunjukkan telah sempurnanya syariat islam, baik yang dhohir maupun yang bathin. Semua hukum agama baik pokoknya maupun cabang-cabangnya sudah dijelaskan dalam AlQur’an dan sunnah nabi. Siapa yang berpandangan bahwa syariat islam belum sempurna, perlu tambahan lagi, maka dia telah bersikap dholim serta membodoh-bodohkan Allah dan RasulNya. (Taisir Karimirrahman hal 199).

Demikian pula Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa beramal dengan amalan ibadah yang tidak terdapat dalam syariat islam, amalnya tersebut akan tertolak”.(HR. Muslim).

Fudhail bin Iyadh rahimahullahu, ketika menjelaskan firman Allah ta’ala ”Dialah yang menjadikan mati dan hidup untuk menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya” (QS. Al Mulk : 2), beliau berkata, “Amalan yang paling baik adalah yang paling ikhlas dan paling benar”. Orang-orang bertanya, “Apakah yang dimaksud dengan paling ikhlas dan paling benar?” beliau menjelaskan, “Sesungguhnya amalan jika telah ikhlas tetapi tidak benar maka tidak diterima. Sebaliknya, jika amalan tersebut telah benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima. Adapun yang dimaksud dengan amal yang ikhlas adalah yang dilakukan karena Allah ta’ala dan yang dimaksud dengan amalan yang benar adalah jika dilakukan sesuai sunnah dan petunjuk Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam.” (Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, hal. 451-452).

Rekomendasi Untuk Anda × +
Previous
Next Post »