Ulasan Sederhana tentang Sikap Bijak terhadap Anak

Kita seringnya lupa bahwa berbuat kebaikan itu tidaklah harus pada hal-hal yang besar. Mulai dari diri sendiri, dari yang kecil, dan mulai saat ini, itu slogan yang akrab kita dengar. Seperti itu juga seharusnya kita bersikap pada anak. Terkadang kita salah bersikap dengan anak. Kita berusaha keras berakhlak baik di hadapan orang lain dan menjaga perasaan mereka namun ternyata kita tidak bisa menjaga perasaan anak-anak kita.

Seenaknya saja kita bicara pada mereka. Seenaknya kita memerintah dan mencela. Kita berpikir bahwa anak adalah orang yang ada dibawah kekuasaan kita tanpa memperdulikan perasaan mereka. Apakah ini benar?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan pada ummatnya cara yang tepat dalam bermuamalah dengan anak. Simak beberapa ulasan sederhana berikut:

Tidak Membohongi Anak 
 
Pada sebagian besar orang tua, berbohong pada anak adalah hal yang lumrah. Mulai dari hal yang sepele hingga yang besar. Padahal berbohong meskipun pada anak kecil tetap saja berdosa. Berbohong pada anak secara tidak langsung mencontohkan anak untuk melakukan hal serupa.
Saat anak menangis, kita tidak mau ambil pusing menjelaskan, kita memilih jalan pintas dengan berbohong.

“Sudah, jangan nangis lagi. Abah cuma pergi sebentar, sebentar lagi pulang.”

Padahal ayahnya pergi berangkat kerja dan pulang sore harinya. Anak lama-kelamaan jika terus dibohongi akan sadar dan kecewa serta terluka perasaanya.

Menghargai Usaha Anak Sekecil Apapun itu 
 
Kita percaya bahwa memuji anak dapat memupuk rasa percaya diri mereka. Sering-seringlah memuji usaha mereka, sekecil apapun itu. Puji jika mereka melakukan kebaikan, jangan lupa sertakan kalimat “Masya Allah”. Sehingga dengan hal tersebut anak bahagia, merasa bahwa usahanya dihargai oleh orang tua dan ia menjadi lebih termotivasi untuk melakukan yang lebih baik lagi.

Adil Terhadap mereka 
 
Dienul Islam yang mulia ini mengajarkan umatnya untuk berbuat adil dalam setiap hal. Begitu pula dalam mendidik anak. Sebagai orang tua kita hendaknya adil dalam memperlakukan anak. Adil dalam kasih sayang, adil dalam memberi, dan adil dalam menghukum.

Dalam memberikan kasih sayang, orang tua harus berlaku adil pada anak-anaknya. Ia tidak boleh melebihkan anak yang satu dibanding yang lainnya. Lebih memprioritaskan anak yang satu dari pada yang lain. Ini adalah perbuatan dzalim. Semua harus diperhatikan dan sama rata diberi perhatian.

Ketika memberikan hadiah pada anak, kita juga harus berlaku adil. Jika yang satu diberi maka yang lain pun diberi.

‘Amir berkata bahwa beliau mendengar An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma yang ketika itu berada di atas mimbar berkata, “Ayahku memberikan hadiah padaku.” Lantas ibunya Nu’man, ‘Amroh bintu Rowahah berkata, “Aku tidak ridho sampai engkau mempersaksikan hal itu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, lantas Basyir (ayah Nu’man) berkata, “Aku telah memberikan hadiah pada anak laki-lakiku dari istriku, ‘Amroh bin Rowahah. Lalu istriku memerintah padaku untuk mempersaksikan masalah hadiah ini padamu, wahai Rasulullah.” Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya pada Basyir, “Apakah engkau memberi anak-anakmu yang lain seperti anakmu itu?” “Tidak”, begitu jawaban Basyir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎“Bertakwalah pada Allah. Bersikap adillah terhadap anak-anakmu.” An Nu’man berkata bahwa ayahnya kembali dan menarik hadiah tersebut (Muttafaqun ‘alaih).

Hadits ini dibawakan Imam Bukhari dalam persaksian dalam hal hadiah. Imam Nawawi memberi judul Bab dalam Shahih Muslim “Tidak disukai mengutamakan hadiah pada satu anak tidak pada yang lainnya.”

Bersikap adil yaitu sama dalam pemberian hadiah pada anak-anak kita adalah suatu hal yang wajib. Sedangkan bersikap tidak adil dalam hal ini tanpa adanya alasan adalah suatu yang haram atau tidak dibolehkan. Namun, jika ternyata ditemukan adanya sebab untuk mengutamakan satu anak dan lainnya dalam pemberian hadiah, maka harus dengan ridho seluruh anak.

Tidak Menghina Anak 
 
Ketika marah pada anaknya karena kelakuan anak yang nakal, rewel, atau lainnya tak jarang orang tua marah sambil memaki dan mencela. Ungkapan kotor nan tidak pantas terlontar untuk buah hatinya. Atau ada pula ibu yang memarahi anaknya hingga sang anak sakit hati.

Percayalah, Ibu.. ketika kita menasehati anak dalam keadaan marah apalagi sampai mencela tidaklah ada manfaatnya. Yang ada hanyalah kepuasan diri kita sudah memaki dan mencela. Belum habis sampai disitu, kita belum merasa plong dan puas sebelum sang anak menangis karena kita marahi.

Saat amarah menguasai kita, redamlah ia. Menyendirilah sejenak. Berwudhulah untuk menghilangkan amarah. Jangan menasehati saat diri kita dikuasai amarah. Setelah emosi reda barulah nasehati anak. Nasihat seperti ini lebih bermanfaat dan tepat sasaran.

Ingatlah anak yang sakit hati karena makian kita atau bahkan jika kita terus-menerus mencelanya, akan terus ia ingat hingga dewasa nanti. Jika kita terus seperti ini bukan hanya menyelisihi perintah Allah untuk berlemah lembut pada anak tapi juga merenggangkan hubungan kasih sayang orang tua dan anak.

Ingat juga, celaan yang diterima anak terus-menerus akan menjadikan anak minder dan tidak percaya diri sehingga akan mengganggu kejiwaannya. Berprilaku lemah lembutlah pada anak sehingga Allah dan anak akan mencintaimu.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa tidak menyayangi, maka tidak disayangi“. (HR. Bukhari)

Menepati Janji 
 
Inilah juga satu hal yang dianggap remeh oleh para orang tua. Berjanji namun tidak ditepati. Menggombal akan memberi ini itu, namun faktanya tidak. Meskipun hanya gurauan, janji adalah janji. Seorang muslim yang baik harus berusaha menunaikan janjinya. Ingat kan, bahwa salah satu ciri orang munafik itu adalah bila berjanji maka ia tidak menepati.

Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu telah meriwayatkan hadits dari shahabat Abdullah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhuma dia berkata: “Pada suatu hari ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di tengah-tengah kami, (tiba-tiba) ibuku memanggilku dengan mengatakan: ‘Hai kemari, aku akan beri kamu sesuatu!’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada ibuku: ‘Apa yang akan kamu berikan kepadanya?’ Ibuku menjawab: ‘Kurma.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ketahuilah, seandainya kamu tidak memberinya sesuatu maka ditulis bagimu kedustaan.” (HR. Abu Dawud bab At-Tasydid fil Kadzib no. 498, lihat Ash-Shahihah no. 748)
Tidak Membanding-bandingkan dengan Anak yang Lain

Membandingkan anak kita dengan anak yang lainnya di depan mereka bukanlah tindakan terpuji. Anak kecil berbeda dari orang dewasa. Orang dewasa jika orang lain membandingkannya dengan yang lainnya yang lebih sukses, ia akan terpacu semangatnya. Tapi tidak dengan anak kecil karena kemampuan dan cara berpikirnya masih terbatas. Ia belum memiliki pengalaman belajar sehingga sang anak malah menjadi bingung, “ Bagaimana ya caranya agar aku bisa membaca?”

Daripada membandingkan dan memvonis anak, lebih baik bagi orang tua untuk memahamkan anak tentang permasalahan dan solusinya.
“Adik kok belum bisa membaca? Yuk Adik berusaha lebih giat lagi, Ummi bantu.” 
 
Memvonis anak dengan membandingkannya dengan anak yang lain membuat anak merasa minder, berkurang kepercayaannya pada orang tua, dan tumbuh menjadi pribadi yang ragu-ragu. Jadi ingat, wahai Ibu… ketika kita sedang membicarakan tentang kekurangan anak kita pada orang lain janganlah di depan anak-anak kita. Hal ini untuk menjaga perasaan mereka.

Selalulah berusaha menjaga perasaan anak-anak kita, wahai Ibu. Semoga dengannya, hubungan kasih sayang kita dengan anak lebih terjalin erat, anak tumbuh dengan kepribadian yang baik, serta kita telah menunaikan hak-hak mereka sebagai anak, dan akhirnya kita mampu menjadi orang tua yang bijak dalam bersikap insya Allah. Semoga bermanfaat.

Wallaahu a’lam bis showwaab.
 
Penyusun: Nugrahaeni Ummu Nafisah
Murojaah: Ustadz Ammi Nur Baits

(src: http://muslimah.or.id/)
Rekomendasi Untuk Anda × +
Previous
Next Post »